Restorasi
Meiji (Meiji Restoration; Meiji Ishin) adalah peristiwa pengembalian atau
restorasi kekuasaan ke tangan kaisar dari yang awalnya dipegang oleh shogun
dinasti Tokugawa. Peristiwa pengalihan kekuasaan yang dimaksud terjadi pada
tahun 1867, namun periode sebelum & sesudah pengalihan kekuasaan banyak
diwarnai oleh gejolak sosial serta militer yang turut melibatkan negara-negara
Barat.
Kata "Meiji" pada peristiwa restorasi ini diambil dari nama gelar Kaisar Meiji & memiliki makna "pemerintahan yang tercerahkan" untuk menggambarkan stabilnya kembali kondisi dalam negeri Jepang sejak diperintah oleh kaisar yang bersangkutan. Restorasi Meiji merupakan salah satu peristiwa terpenting dalam sejarah pra modern Jepang karena berkat restorasi ini, Jepang yang awalnya merupakan negara kolot & terbelakang berubah menjadi salah satu negara termaju di Asia & bahkan dunia. Namun di sisi lain, Restorasi Meiji juga menjadi penyebab utama hilangnya golongan-golongan tradisional seperti golongan daimyo (tuan tanah) & samurai (ksatria elit) dalam struktur sosial masyarakat Jepang.
Kata "Meiji" pada peristiwa restorasi ini diambil dari nama gelar Kaisar Meiji & memiliki makna "pemerintahan yang tercerahkan" untuk menggambarkan stabilnya kembali kondisi dalam negeri Jepang sejak diperintah oleh kaisar yang bersangkutan. Restorasi Meiji merupakan salah satu peristiwa terpenting dalam sejarah pra modern Jepang karena berkat restorasi ini, Jepang yang awalnya merupakan negara kolot & terbelakang berubah menjadi salah satu negara termaju di Asia & bahkan dunia. Namun di sisi lain, Restorasi Meiji juga menjadi penyebab utama hilangnya golongan-golongan tradisional seperti golongan daimyo (tuan tanah) & samurai (ksatria elit) dalam struktur sosial masyarakat Jepang.
LATAR BELAKANG
Jepang
adalah negara dengan bentuk pemerintahan kekaisaran yang berarti secara
teoritis, pemegang kekuasaan tertinggi di Jepang adalah kaisar. Namun dalam
praktiknya, yang memiliki peran & kekuatan besar dalam menjalankan roda
pemerintahan adalah panglima militer yang dikenal dengan sebutan
"shogun". Kaisar di lain pihak memiliki peran terbatas dalam
aktivitas sosial politik Jepang sehingga kini ia hanya menjadi semacam simbol.
Masing-masing panglima memiliki pasukannya sendiri-sendiri & tidak jarang
timbul perang antar panglima untuk menjadi shogun yang diakui oleh kaisar. Terhitung
sejak tahun 1603, posisi shogun dipegang oleh dinasti Tokugawa di mana mereka
menjalankan roda pemerintahan dari kota Kyoto.
Tahun 1633, rezim Tokugawa menjalankan kebijakan baru yang dikenal dengan nama "sakoku". Dengan kebijakan tersebut, orang-orang Jepang kini tidak boleh lagi pergi keluar negeri & orang-orang asing tidak diperbolehkan masuk ke Jepang (kecuali pedagang Belanda serta Cina). Buku-buku berbahasa asing juga dilarang beredar di seantero Jepang. Alasan utama dijalankannya kebijakan sakoku adalah karena Tokugawa khawatir kalau pengaruh negatif yang dibawa oleh orang-orang Eropa (khususnya Spanyol & Portugal) akan membuat Jepang nantinya bisa dikuasai oleh pihak asing. Salah satu contoh pengaruh negatif yang dimaksud adalah semakin banyaknya penduduk Jepang yang memeluk agama Katolik. Menurut Tokugawa, orang-orang yang menganut agama Katolik memiliki kecenderungan lebih besar untuk membangkang karena mereka akan lebih patuh kepada gereja daripada shogun.
Tahun 1633, rezim Tokugawa menjalankan kebijakan baru yang dikenal dengan nama "sakoku". Dengan kebijakan tersebut, orang-orang Jepang kini tidak boleh lagi pergi keluar negeri & orang-orang asing tidak diperbolehkan masuk ke Jepang (kecuali pedagang Belanda serta Cina). Buku-buku berbahasa asing juga dilarang beredar di seantero Jepang. Alasan utama dijalankannya kebijakan sakoku adalah karena Tokugawa khawatir kalau pengaruh negatif yang dibawa oleh orang-orang Eropa (khususnya Spanyol & Portugal) akan membuat Jepang nantinya bisa dikuasai oleh pihak asing. Salah satu contoh pengaruh negatif yang dimaksud adalah semakin banyaknya penduduk Jepang yang memeluk agama Katolik. Menurut Tokugawa, orang-orang yang menganut agama Katolik memiliki kecenderungan lebih besar untuk membangkang karena mereka akan lebih patuh kepada gereja daripada shogun.
Sejak kebijakan sakoku dijalankan, aktivitas pertanian, perdagangan, & praktik kebudayaan lokal sempat mengalami peningkatan pesat. Namun memasuki abad ke-18, timbul kemerosotan ekonomi yang diakibatkan oleh bencana alam periodik & aktivitas korupsi para anggota pemerintahan. Untuk mengakalinya, pemerintahan Tokugawa lantas menaikkan pajak kepada kaum petani - kebijakan yang lantas menyulut penolakan & kerusuhan di kawasan pedesaan. Kemerosotan ekonomi negara & semakin kayanya golongan pedagang juga membuat golongan samurai menjadi semakin bergantung pada golongan pedagang untuk mencukupi kebutuhan finansialnya. Sebagai akibatnya, sekat-sekat pemisah antar golongan yang sudah dibangun oleh rezim Tokugawa untuk menjaga stabilitas sosial mulai mengalami keretakan.
Masuknya kembali bangsa-bangsa asing ke tanah Jepang membuat keshogunan Tokugawa semakin kehilangan wibawanya di mata penduduk lokal. Penyebabnya adalah selama ini Tokugawa selalu menonjolkan dirinya sebagai pemimpin yang membentengi negaranya dari pengaruh bangsa asing. Keputusan Tokugawa untuk mengizinkan bangsa-bangsa asing kembali beroperasi di wilayah Jepang secara otomatis membuat rezim tersebut dianggap sudah mengingkari janjinya sendiri kepada rakyat Jepang. Dikombinasikan dengan faktor-faktor internal seperti krisis ekonomi, era pemerintahan dinasti Tokugawa yang sudah berlangsung selama beberapa abad pun mulai goyah & seruan supaya kaisar kembali menjalankan roda pemerintahan Jepang mulai membahana.
BERJALANNYA RESTORASI
Dibukanya kembali pelabuhan-pelabuhan Jepang kepada pihak asing membuat orang-orang asing mulai berduyun-duyun datang ke Jepang. Ketika jumlah mereka semakin banyak & kedatangan mereka dianggap membawa dampak negatif bagi Jepang, konflik antara orang asing dengan para samurai & daimyo yang anti-asing pun mulai timbul. Banyak orang asing yang sedang berada di Jepang tewas terbunuh secara mengenaskan. Memasuki tahun 1863, Kaisar Komei juga turut menyatakan penolakannya secara terang-terangan akan keberadaan orang asing di Jepang & memerintahkan shogun untuk segera melakukan sesuatu. Perintah kaisar tersebut lalu direspon shogun dengan cara meminta perwakilan negara-negara asing untuk segera angkat kaki dari Jepang.
Alih-alih
menuruti permintaan shogun, negara-negara Barat justru memilih untuk
mengirimkan armada lautnya ke Jepang karena menganggap shogun tidak bisa lagi
mengendalikan perilaku rakyatnya sendiri. Ada 2 provinsi yang menjadi markas
utama dari kelompok anti-shogun & anti asing, yaitu provinsi Satsuma
(sekarang dikenal dengan nama Kagoshima) & provinsi Choshu (sekarang
Yamaguchi). Kedua provinsi itulah yang menjadi sasaran pengeboman oleh
kapal-kapal perang milik AS
& negara-negara Eropa pada tahun 1863 hingga tahun 1864. Sadar bahwa
negara-negara Barat terlalu kuat untuk diusir & dikalahkan, kaisar pun
mengubah pikirannya & membiarkan shogun tetap melanjutkan kebijakannya
membuka pesisir Jepang kepada negara-negara Barat. Masih berlanjutnya hubungan
antara shogun & negara-negara Barat lantas diikuti pula dengan proses
modernisasi di wilayah Jepang yang dikuasai oleh shogun.
Di pihak
yang berseberangan, kelompok anti-shogun di Satsuma & Choshu yang
sebelumnya menunjukkan sentimen anti asing mulai menyadari potensi dari pihak
yang awalnya mereka musuhi. Maka, mereka pun mulai menjalin kontak dengan
Inggris & AS supaya kedua negara tersebut bersedia membantu memodernisasi
pasukan milik kelompok anti-shogun. Kelompok anti-shogun berharap, pasukan
milik mereka yang sudah dimodernisasi nantinya bisa digunakan untuk
menggulingkan shogun lewat jalur militer sehingga pucuk kekuasaan negara yang
awalnya dipegang oleh shogun akan beralih kembali ke tangan kaisar Jepang.
Tergulingnya shogun juga akan memuluskan keinginan dari kelompok anti-shogun
untuk merombak & memodernisasi Jepang sesuai dengan selera mereka.
Kegiatan modernisasi pasukan yang dilakukan oleh kelompok anti-shogun mulai berbuah manis ketika pada tahun 1866, pasukan anti-shogun berhasil mengalahkan pasukan shogun yang menginvasi Choshu. Setahun kemudian, Kaisar Komei wafat & posisinya digantikan oleh putranya Mutsuhito yang nantinya lebih dikenal dengan nama Kaisar Meiji. Di tahun yang sama dengan kematian Kaisar Komei, Tokugawa Yoshinobu / Tokugawa Keiki diangkat menjadi shogun yang baru. Posisi keshogunan saat itu sudah begitu rapuh sebagai akibat dari meningkatnya kekuatan Satsuma & Choshu, sementara para daimyo yang selama ini mendukung shogun justru meminta agar shogun membiarkan kaisar menjadi penguasa mutlak Jepang. Sadar bahwa ia tidak memiliki pilihan lain, Yoshinobu setuju untuk mundur dari posisinya sebagai shogun pada bulan November 1867. Mundurnya Yoshinobu sekaligus mengakhiri era keshogunan Tokugawa yang sudah berlangsung selama lebih dari 2,5 abad.
Kegiatan modernisasi pasukan yang dilakukan oleh kelompok anti-shogun mulai berbuah manis ketika pada tahun 1866, pasukan anti-shogun berhasil mengalahkan pasukan shogun yang menginvasi Choshu. Setahun kemudian, Kaisar Komei wafat & posisinya digantikan oleh putranya Mutsuhito yang nantinya lebih dikenal dengan nama Kaisar Meiji. Di tahun yang sama dengan kematian Kaisar Komei, Tokugawa Yoshinobu / Tokugawa Keiki diangkat menjadi shogun yang baru. Posisi keshogunan saat itu sudah begitu rapuh sebagai akibat dari meningkatnya kekuatan Satsuma & Choshu, sementara para daimyo yang selama ini mendukung shogun justru meminta agar shogun membiarkan kaisar menjadi penguasa mutlak Jepang. Sadar bahwa ia tidak memiliki pilihan lain, Yoshinobu setuju untuk mundur dari posisinya sebagai shogun pada bulan November 1867. Mundurnya Yoshinobu sekaligus mengakhiri era keshogunan Tokugawa yang sudah berlangsung selama lebih dari 2,5 abad.
Walaupun
secara resmi keshogunan Tokugawa tidak lagi eksis, namun dalam realitanya para
anggota dinasti Tokugawa masih memiliki pengaruh kuat dalam aktivitas
pemerintahan Jepang. Situasi tersebut tidak disukai oleh para pemberontak
Satsuma & Choshu sehingga pada bulan Januari 1868, mereka nekat menyerang
& menduduki istana kekaisaran di Kyoto. Saigo Takamori selaku pemimpin
penyerbuan tersebut lalu menyatakan kalau kekuasaan kaisar sudah direstorasi
sambil memerintahkan agar aset-aset milik anggota dinasti Tokugawa segera
disita. Merasa tidak senang dengan peristiwa tersebut, Yoshinobu lalu
memerintahkan pasukannya untuk segera menyerbu Kyoto sehingga pecahnya
"Perang Boshin" (Boshin Senso) antara pasukan pro-Tokugawa melawan
pasukan pro-kekaisaran pun tak terhindarkan lagi.
Pasukan pro-Tokugawa memiliki keunggulan dalam hal jumlah personil, namun mereka tidak memiliki stok persenjataan modern yang memadai. Pasukan kekaisaran di lain pihak dilengkapi dengan persenjataan termutakhir pada masanya seperti senapan Gattling, meriam Armstrong, & senapan Minie yang memiliki akurasi tinggi serta jarak tembak yang jauh. Keunggulan tersebut berhasil dimanfaatkan oleh pasukan kekaisaran dengan baik sehingga perlahan tapi pasti, mereka berhasil mendesak mundur pasukan pro-Tokugawa. Hasilnya, pada bulan Oktober 1868 pasukan kekaisaran sudah berhasil menguasai 3 dari 4 pulau utama di Jepang : Kyushu, Shikoku, & Honshu. Pasukan pro-Tokugawa yang masih tersisa sempat mundur ke Pulau Hokkaido untuk mendirikan basis pertahanan terakhir, namun perlawanan mereka akhirnya terhenti pada bulan Mei 1869 setelah digempur habis-habisan oleh pasukan kekaisaran di Hakodate, Hokkaido selatan.
KONDISI PASCA RESTORASI
Menyerahnya sisa-sisa pasukan pro-Tokugawa sekaligus mengakhiri konflik bersenjata yang mewarnai masa transisi selama Restorasi Meiji. Pasca restorasi, ibukota pemerintahan yang awalnya berlokasi di Kyoto dipindahkan ke Tokyo (sebelumnya bernama Edo). Upaya modernisasi & reformasi dilakukan secara menyeluruh untuk mengejar ketertinggalan Jepang dari negara-negara Barat sekaligus menaikkan posisi tawarnya di mata dunia internasional. Sebagai contoh, para daimyo diharuskan menyerahkan tanah miliknya ke kaisar. Sebagai gantinya, para daimyo tersebut direkrut menjadi gubernur yang dibayar secara berkala oleh pemerintah pusat. Sistem feodalisme juga dihapuskan & diganti dengan sistem daerah administrasi (prefektur).
Pasukan pro-Tokugawa memiliki keunggulan dalam hal jumlah personil, namun mereka tidak memiliki stok persenjataan modern yang memadai. Pasukan kekaisaran di lain pihak dilengkapi dengan persenjataan termutakhir pada masanya seperti senapan Gattling, meriam Armstrong, & senapan Minie yang memiliki akurasi tinggi serta jarak tembak yang jauh. Keunggulan tersebut berhasil dimanfaatkan oleh pasukan kekaisaran dengan baik sehingga perlahan tapi pasti, mereka berhasil mendesak mundur pasukan pro-Tokugawa. Hasilnya, pada bulan Oktober 1868 pasukan kekaisaran sudah berhasil menguasai 3 dari 4 pulau utama di Jepang : Kyushu, Shikoku, & Honshu. Pasukan pro-Tokugawa yang masih tersisa sempat mundur ke Pulau Hokkaido untuk mendirikan basis pertahanan terakhir, namun perlawanan mereka akhirnya terhenti pada bulan Mei 1869 setelah digempur habis-habisan oleh pasukan kekaisaran di Hakodate, Hokkaido selatan.
KONDISI PASCA RESTORASI
Menyerahnya sisa-sisa pasukan pro-Tokugawa sekaligus mengakhiri konflik bersenjata yang mewarnai masa transisi selama Restorasi Meiji. Pasca restorasi, ibukota pemerintahan yang awalnya berlokasi di Kyoto dipindahkan ke Tokyo (sebelumnya bernama Edo). Upaya modernisasi & reformasi dilakukan secara menyeluruh untuk mengejar ketertinggalan Jepang dari negara-negara Barat sekaligus menaikkan posisi tawarnya di mata dunia internasional. Sebagai contoh, para daimyo diharuskan menyerahkan tanah miliknya ke kaisar. Sebagai gantinya, para daimyo tersebut direkrut menjadi gubernur yang dibayar secara berkala oleh pemerintah pusat. Sistem feodalisme juga dihapuskan & diganti dengan sistem daerah administrasi (prefektur).
Untuk
mengubah Jepang dari yang awalnya negara agraris menjadi negara industri yang
maju, pemerintah "Negeri Matahari Terbit" tersebut mengirimkan
rakyatnya yang berbakat untuk menimba ilmu di luar negeri sambil mengundang
para staf ahli dari luar negeri untuk mengajar di Jepang. Modernisasi fasilitas
transportasi & komunikasi juga dilakukan untuk memperlancar aktivitas
sosial ekonomi dalam negeri. Para zaibatsu atau keluarga pebisnis yang
mendominasi perekonomian nasional mulai bermunculan. Sementara di sektor
militer, kebijakan wajib militer diterapkan & perombakan angkatan darat
serta laut dilakukan dengan memakai angkatan bersenjata dari negara-negara maju
Eropa sebagai modelnya. Berkat aneka kebijakan tersebut, Jepang berhasil tumbuh
menjadi salah satu negara Asia dengan militer terkuat & termodern pada
paruh awal abad ke-20.
Di sektor politik pada tahun 1889, Jepang akhirnya berhasil merumuskan undang-undang (UU) yang konsepnya menyerupai UU di negara-negara Eropa. Berdasarkan UU ini, Jepang akhirnya bisa memiliki badan parlemen nasional (Diet). Namun dalam realitanya, kaisar tetap memiliki posisi dominan dalam aktivitas pemerintahan karena posisinya yang ada di atas angkatan bersenjata & badan parlemen. Selain kaisar, orang-orang yang memiliki peran penting dalam aktivitas pemerintahan negara adalah "genro", kelompok penasihat kaisar yang beranggotakan para tetua Satsuma & Choshu. Besarnya peran genro dalam aktivitas pemerintahan Jepang sendiri tidak lepas dari masih kurangnya rasa persatuan dari sesama anggota parlemen dalam merumuskan kebijakan bersama.
Kebijakan-kebijakan baru pemerintah Jepang di era Meiji tidak selalu membawa dampak positif. Salah satu golongan masyarakat yang paling dirugikan oleh reformasi sosial di era Meiji adalah golongan samurai. Di era keshogunan, samurai merupakan salah satu kasta sosial yang paling dihormati berkat sistem feodalisme yang dibuat sedemikian rupa. Namun pasca Restorasi Meiji, sistem feodalisme dihapuskan sehingga samurai pun kehilangan hak-hak istimewanya selama ini, salah satunya hak membawa pedang secara bebas. Sebagian samurai menolak & melakukan pemberontakan sporadis pada dekade 1870-an, sementara sebagian lainnya memilih untuk beradaptasi & menanggalkan identitas samurainya untuk menekuni profesi lain sehingga keberadaan samurai dalam kehidupan masyarakat Jepang pun secara berangsur-angsur menghilang.
Di sektor politik pada tahun 1889, Jepang akhirnya berhasil merumuskan undang-undang (UU) yang konsepnya menyerupai UU di negara-negara Eropa. Berdasarkan UU ini, Jepang akhirnya bisa memiliki badan parlemen nasional (Diet). Namun dalam realitanya, kaisar tetap memiliki posisi dominan dalam aktivitas pemerintahan karena posisinya yang ada di atas angkatan bersenjata & badan parlemen. Selain kaisar, orang-orang yang memiliki peran penting dalam aktivitas pemerintahan negara adalah "genro", kelompok penasihat kaisar yang beranggotakan para tetua Satsuma & Choshu. Besarnya peran genro dalam aktivitas pemerintahan Jepang sendiri tidak lepas dari masih kurangnya rasa persatuan dari sesama anggota parlemen dalam merumuskan kebijakan bersama.
Kebijakan-kebijakan baru pemerintah Jepang di era Meiji tidak selalu membawa dampak positif. Salah satu golongan masyarakat yang paling dirugikan oleh reformasi sosial di era Meiji adalah golongan samurai. Di era keshogunan, samurai merupakan salah satu kasta sosial yang paling dihormati berkat sistem feodalisme yang dibuat sedemikian rupa. Namun pasca Restorasi Meiji, sistem feodalisme dihapuskan sehingga samurai pun kehilangan hak-hak istimewanya selama ini, salah satunya hak membawa pedang secara bebas. Sebagian samurai menolak & melakukan pemberontakan sporadis pada dekade 1870-an, sementara sebagian lainnya memilih untuk beradaptasi & menanggalkan identitas samurainya untuk menekuni profesi lain sehingga keberadaan samurai dalam kehidupan masyarakat Jepang pun secara berangsur-angsur menghilang.